
Azmi Bin Rozali
RIAU1.COM - Dalam gelombang perubahan zaman yang kian cepat, kota-kota dunia ditantang untuk tidak hanya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga simpul kebudayaan dan inovasi.
Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau yang selama ini lebih dikenal sebagai simpul migas dan perdagangan, kini mengintip peluang baru: menjadi City of Media Arts. Sebuah wacana yang mengemuka dalam kunjungan Raffi Ahmad, Utusan Khusus Presiden Bidang Kreativitas dan Anak Muda, dalam acara “Utusan Khusus Presiden Mendengar” yang digelar di kota ini.
Namun, wacana ini bukan sekadar agenda proyek atau branding kebijakan. Ia menyentuh dimensi yang lebih dalam: soal eksistensi, jati diri kota, dan masa depan kebudayaan lokal dalam lanskap global.
Landasan Filosofis: Identitas dan Ekspresi
Gagasan menjadikan Pekanbaru sebagai City of Media Arts mestinya berangkat dari pemahaman mendalam akan ruh kebudayaan Melayu yang menjadi fondasi kota ini.
Dalam khazanah Melayu, seni bukan sekadar ekspresi estetis, tetapi juga jalan menyampaikan hikmah, merawat marwah, dan menegakkan martabat. Syair, pantun, gurindam, dan visualisasi ornamen-ornamen tradisional seperti pucuk rebung atau motif awan larat, adalah bagian dari narasi panjang kehalusan budi dan kecerdasan kultural yang diwariskan lintas generasi.
Media arts—yang mencakup film, animasi, digital art, fotografi, desain visual, dan ekspresi kreatif berbasis teknologi lainnya—bukanlah sesuatu yang asing bagi ruh Melayu.
Justru, media arts dapat menjadi wahana baru untuk mentransformasikan nilai-nilai Melayu ke dalam bentuk-bentuk baru yang bisa menjangkau anak muda, merambah jagat digital, dan mewartakan budaya lokal ke panggung dunia.
Filosofisnya, menjadikan Pekanbaru sebagai City of Media Arts adalah upaya menyambung antara akar dan pucuk: akar kultural yang dalam dan pucuk kreativitas modern yang tumbuh menjulang. Inilah konsep Melayu yang meruah dalam rupa dan makna, bukan hanya konservatif dalam bentuk, tetapi progresif dalam semangat.
Arti Penting bagi Pekanbaru
Konsep City of Media Arts bukan sekadar penamaan. Di bawah UNESCO Creative Cities Network, status ini dapat mengangkat citra Pekanbaru sebagai kota yang ramah terhadap seniman, kreator konten, dan industri kreatif digital. Ini berpotensi menarik investasi kreatif, membangun ekosistem inovasi, dan menjadikan kota ini lebih inklusif terhadap ekspresi anak muda.
Lebih jauh, status ini membuka jalan bagi Pekanbaru untuk berjejaring secara global dengan kota-kota lain yang memiliki komitmen serupa. Kolaborasi internasional, pertukaran seniman, dan program edukasi kreatif bisa tumbuh subur. Ini adalah jendela baru bagi kota yang selama ini belum sepenuhnya dikenali dunia sebagai pusat kebudayaan kontemporer.
Kota ini butuh lebih dari jalan dan gedung megah. Ia butuh “jiwa” yang hidup. City of Media Arts dapat menjadi ruh baru itu: menghadirkan wajah kota yang dinamis, kreatif, dan memiliki identitas kultural yang kuat namun adaptif terhadap zaman.
Manfaat Nyata bagi Seniman Riau
Bagi para seniman di Riau, terutama generasi muda yang bergelut di ranah media baru, status ini akan membuka akses terhadap sumber daya yang selama ini terbatas: pendanaan, pelatihan, ruang ekspresi, dan pengakuan.
Saat ekosistem kreatif ditumbuhkan dengan serius, maka kesenian tidak lagi menjadi aktivitas pinggiran yang diasosiasikan dengan kemiskinan, melainkan sebuah profesi terhormat dan menjanjikan.
Bayangkan jika Pekanbaru memiliki pusat media arts dengan fasilitas studio produksi, ruang pamer multimedia, dan inkubator startup kreatif. Seniman lokal tak perlu lagi merantau ke Jakarta atau luar negeri untuk berkembang. Mereka bisa tumbuh di tanah sendiri, dan dari situ, mewarnai dunia.
Lebih penting lagi, media arts memberi ruang demokratisasi ekspresi. Generasi muda bisa menyampaikan kritik sosial, narasi identitas, dan harapan masa depan melalui medium yang dekat dengan keseharian mereka: video pendek, film dokumenter, desain digital, hingga animasi berbasis budaya lokal.
Tanpa Dewan Kesenian: Kritik yang Mendasar
Namun dalam semangat menyambut ide besar ini, kita juga tak boleh menutup mata terhadap kejanggalan mendasar: absennya Dewan Kesenian Riau (DKR) dalam dialog Raffi Ahmad dengan seniman.
DKR, sebagai lembaga representatif insan seni di Riau, seharusnya menjadi mitra strategis dalam setiap kebijakan atau rencana besar yang menyangkut masa depan seni dan kebudayaan daerah.
Tanpa melibatkan DKR, dialog semacam itu riskan menjadi simbolik semata, bahkan politis. Kehadiran para seniman harus dilihat sebagai komunitas kolektif, bukan sekadar selebritas atau influencer.
Dunia seni tidak bisa direduksi hanya pada popularitas atau konten viral; ia punya kedalaman pemikiran, kegelisahan sosial, dan cita estetik yang menuntut penghormatan struktural.
Jangan sampai visi kreatif nasional hanya menjadi proyek seremonial tanpa akar. Partisipasi sejati datang dari pengakuan atas otoritas lokal yang telah lama bekerja, meski dalam senyap. Keterlibatan Dewan Kesenian, lembaga pendidikan seni, komunitas literasi, dan para penggiat budaya adalah syarat mutlak jika gagasan ini ingin berumur panjang, bukan hanya jadi slogan politik.
Menuju Masa Depan yang Berbudaya
City of Media Arts bukanlah mimpi yang mustahil. Tapi seperti halnya bangunan indah, fondasinya harus kokoh. Di Pekanbaru, fondasi itu adalah budaya Melayu yang terbuka, religius, dan adaptif. Tinggal bagaimana para pemangku kebijakan membangun ekosistem yang menghargai seniman sebagai pilar kemajuan, bukan hanya dekorasi acara.
Jika diseriusi, inisiatif ini bisa menjadikan Pekanbaru sebagai kota pertama di Sumatera yang masuk dalam jejaring kota kreatif dunia versi UNESCO. Dan lebih penting lagi, menjadikan seni dan kebudayaan sebagai poros pembangunan, bukan sekadar pelengkap estetika.
Kini, tantangannya bukan pada wacana, tapi pada implementasi. Bukan pada siapa yang bicara, tapi pada siapa yang dilibatkan. Jika benar-benar ingin membangun Pekanbaru sebagai City of Media Arts, maka suara seniman, budayawan, dan komunitas lokal harus menjadi arsitek utama. Sebab merekalah penjaga roh kota ini. ***
Oleh: Azmi Bin Rozali
Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah 3 periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis 2004-2019.